GIFARI
ASFAHANI
14321162
a.
Judul buku : Terorisme dalam Pemberitaan Media: Analisis Wacana
Terorisme Indonesia
b. Pengarang : Indiwan Seto Wahyu Wibowo
c. Jumlah Halaman : 318 halaman
d. Tahun terbit : 2015
e. Penerbit : Deepublish Jogjakarta Indonesia
f. Harga buku : Rp.46.260.00
b. Pengarang : Indiwan Seto Wahyu Wibowo
c. Jumlah Halaman : 318 halaman
d. Tahun terbit : 2015
e. Penerbit : Deepublish Jogjakarta Indonesia
f. Harga buku : Rp.46.260.00
Isu terorisme saat ini menarik untuk
dianalisis karena mengingat kondisi pers Indonesia di era reformasi berada
dalam era kebebasan. Pemberitaan yang dianggap penting bagi media akan diliput
dan disiarkan kepada publik. Namun tidak seperti memberitakan persolan politik,
terorisme merupakan pembahasan yang sentimental terhadap suatu agama dan tak
ada satupun media yang rela apalagi mau dianggap menyuarakan kepentingan atau
mau menjadi corong kepentingan kelompok teroris.. Aksi terorisme baik dilakukan
oleh kelompok besar maupun kecil ini mendapat perhatian bagi media massa
sehingga aksi dan sepak terjangnya tidak pernah terlewatkan. Buku ini membahas
bagaimana media massa menggambarkan peristiwa dan aksi yang terkait dengan
sepak terjak terjang teroris yang bernafaskan aliran garis keras di Indonesia. Sebagian
besar isi buku ini berasal dari hasil kajian disertasi penulis saat menempuh
studi doktor komunikasi di Universitas Indonesia. Analisis teks berita-berita
terorisme Indonesia ini, menggunakan Teknik Analisis Wacana dengan pendekatan
kualitatif. Hal ini merupakan kajian tekstual dalam ranah Ilmu Komunikasi. Buku
ini didedikasikan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang menulis skripsi
dan siapa saja yang tertarik meneliti isi teks media massa menggunakan Analisis
Wacana.
Aksi terorisme ini menjadi salah
satu menu penting dari media massa dan dijadikan headline pemberitaan mereka.
Persoalannya adalah bagaimana media menggambarkan hal tersebut? Apakah para
wartawan menyampaikan beritanya secara objektif? Atau di lain pihak apakah
teroris sungguh memanfaatkan media untuk menyampaikan ‘pesannya’? Hal ini menjadi
menarik karena ada perbedaan gaya komunikasi yang dilakukan oleh teroris di
Indonesia dan teroris di luar Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana realitas
itu dikonstruksikan oleh media massa terkait dengan praktik konstruksi
realitas, berita dipandang bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang
publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya
media adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan
meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan berita adalah suatu konstruksi
realitas.
Berita atau tulisan dalam pandangan
konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita termasuk berita
seputar aksi Islam garis keras dan aksi terorisme adalah produk interaksi
wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi
melalui proses. Di antaranya proses internalisasi di kalangan internal dan
proses menggambarkan aksi terorisme yang ia amati, dalam hal ini saat melihat
fakta langsung diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah
proses eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam
memaknai realitas. Peta aktivitas terorisme dan peta posisi peran media bila dimatrikskan
akan menuntun pada suatu garis relasi antara terorisme dan media massa- Atas dasar
ini, pencerrrratan terhadap media dalam koverasi mereka terhadap terorisme meniadi
lebih mudah dilalcukan dan memberi manfaat pada pihak-pihak, terrnasuk
pemerintatr" yang berupaya menentang terorisme. Selain analisis
dari akademisi dan peneliti, buku ini memuat perspektif wartawan melihat peran
media dalam terorisme. Ia mengulas sejumlah problem wartawan saat meliput
terorisme dan pelbagai faktor yang memengaruhi laporannya. Misalnya tekanan
dari institusi media untuk membuat berita-berita sensasional, termasuk
mengeksploitasi kekerasan, dan mengabaikan sensitivitas pembaca.
Dalam
situasi ketika (pemberitaan) terorisme telah jadi komoditas, media tidak
sekadar melaporkan apa yang terjadi. Tetapi ia melakukan dramatisasi agar model
berita macam itu bisa menangguk perhatian audiens. Dramatisasi, pada
gilirannya, mengabaikan fakta dan justru melakukan disinformasi. Praktik macam
ini, di antaranya diulas dalam tulisan Dahr Jamail dan Danny Schecter, datang
dari situasi ketika banyak wartawan memakan bulat-bulat informasi dan distorsi
dari narasumber resmi seperti militer—seringnya oleh para wartawan yang
melakukan praktik embedded journalism.
Buku
ini mengusung soal representasi terorisme dalam pemberitaan media massa. Fokus
persoalan adalah representasi terorisme di Indonesia yang diduga dilakukan oleh
kelompok Islam garis keras, terkait dengan sejumlah aksi terorisme yang diduga
melibatkan peranan Abu Bakar Ba’asyir. Yang menjadi objek penelitian adalah
sejumlah pemberitaan seputar terorisme sejak Agustus 2010 di Harian Koran Tempo
yang diawali dengan ditangkapnya Abu Bakar Ba’asyir. Koran Tempo edisi 10
Agustus 2010 mengangkat topik seputar penangkapan Amir Jamaah Anshorut
Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir. Analisis tekstual berita seputar aksi terorisme
ini dilakukan pada Harian Koran Tempo sebagai Koran umum yang menempatkan persoalan
terorisme sebagai persoalan menarik yang dijadikan kekuatan pemberitaan mereka.
Pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya dikenal dengan Majalah
Temponya. Alasan utama mengapa peneliti memilih Koran Tempo adalah karena Koran
Tempo begitu juga Tempo dianggap sering bertindak ‘sinis’ terhadap Islam dan
aksi kelompok-kelompok Garis Keras Islam. Kritik utama dari kelompok Islam tertentu
adalah Tempo seringkali melakukan reportase dan investigasi yang menyudutkan Islam
di tanah air. Disertasi ini mengangkat topik terorisme yang dikaitkan dengan
aksi kelompok militan Islam seperti kelompok JAT yang dipimpin oleh Abu Bakar
Ba’asyir, sehingga tepatlah alasan memilih Koran Tempo sebagai media yang
diteliti. Apakah Koran Tempo juga melakukan kebijakan yang sama dengan induk
perusahaannya yang seringkali dituding anti Islam dalam pemberitaannya.
Selain itu, terdapat isu pemberitaan aksi
terorisme di era 2012-an ketika terorisme di Indonesia diwarnai sejumlah aksi
terosisme yang tidak besar dan memiliki efek yang luar biasa. Setelah sejumlah
gombong terorisme ditangkap paska 2008-2010 dan tewas atau dijatuhi hukuman
mati, serta dieksekusi di Nusakambangan. Salah satu alasan mengapa buku ini
juga mengangkat pemberitaan Koran Tempo periode
2010-an ketika aksi terorisme di Indonesia tertangkap, terbunuh, atau
dieksekusi/hukuman mati. Di dalam buku ini juga terdapat beberapa nama dan
peran gombong terorisme para teroris di Indonesia. Terdapat juga tanggal kejadian,
aksi terorisme, pelaku terorisme dan korban. Media massa terkadang memposisikan
diri kepada tiga hal, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Bisa
dikatakan, di tengah suasana aksi terorisme sesungguhnya terorisme berada di
tengah realita sosial yang sarat dan kepentingan, konflik, dan fakta yang
komplek dan ragam. Realitas adalah hasil ciptaan manusia kreatif melalui kekuatan kontruksi social
terhadap dunia sekelilingnya. Media digunakan oleh kekuatan-kekuatan capital untuk
menjadikan media massa sebagai mesin uang dan pelipatgandaan modal lewat
penyajian-penyajiannya. Posisi kedua adalah keberpihakan semu kepada
masyarakat. Media massa seolah berpihak pada rakyat dalam bentuk simpati,
empati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, tapi ujung-ujugnya “menjual
berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis atau pihak pemilik
modal. Keberpihakan kepada kepentingan umum adalah posisi media yang terakhir. Koran
Tempo tidak melakukan konfirmasi seputar tuduhan atas Ba’asyir yang diduga
terlibat sejumlah aksi terorisme di tanah air. Koran Tempo lebih banyak
mengedepankan sumber resmi seperti Kepala Bareskrim Mabes Polri, Ito Sumardi. Upaya
konfirmasi dan investigasi mengenai kebenaran dari klaim atau tuduhan polisi
terhadap Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras tidak dilakukan. Wartawan/editor
Koran Tempo Ahmad Fikri dan kawan-kawan, tidak memberi tempat yang seimbang
untuk narasumber yang mendukung Ba’asyir. Kalaupun ada narasumber lain, hanya satu
paragraf di paragraf dua, dan hanya terdiri dari tiga kalimat pendek terpisah.
Dalam
teks ini ada upaya melakukan ekskomunikasi, artinya Koran Tempo tidak melakukan
upaya menyeimbangkan informasi dengan melakukan wawancara yang seimbang, padahal
kewajiban melakukan hal itu merupakan kewajiban hakiki pers. Artinya, dari
sembilan elemen jurnalisme, Koran Tempo sudah melanggar elemen dasar bahwa
perlu adanya verifikasi data dan narasumber agar berita yang disampaikan
mengandung kebenaran.
Buku
berasal dari disertasi yang menggunakan metode analisis wacana yang menyoroti
soal bagaimana media mempresentasikan ideology di balik aksi terorisme dan
fenomena islam garis keras di media. Penelitian ini bertujuan juga untuk
mengkaji media massa mengusung aksi terorisme ang berlandaskan sentiment agama
khususnya gerakann terorisme di tanah air dalam perspektif konstruktivisme. Studi
akan mengkaji praktik social khususnya representasi peristiwa yang diyakini
oleh awak media sebagai suatu kebenaran. Di sisi lain proses ekonomi social dan
politik pemberitaan terorisme menjadi al yang penting dalam studi ini. Buku ini merupakan versi populer dari hasil disertasi yang
melihat bagaimana sebuah peristiwa dan isu terorisme diangkat oleh media. Layak
dimiliki oleh praktisi media, dan bisa jadi buku pegangan dan contoh yang baik
bagi yang sedang membuat skripsi,tesis bahkan disertasi menggunakan teknik
analisis teks wacana.
Persoalan
terorisme dan media massa, merupakan hal yang masih langka diteliti dalam
sebuah disertasi di Indonesia apalagi dikaitkan dengan representasi. Ini yang
membedakan buku ini dengan sejumlah penelitian sebelumnya, baik di bidang
metodologi, paradigm, dan teori-teori yang digunakan. Dalam buku ini, persoalan
terorisme di Indonesia ditinjau lewat analisi wacana yang melihat teks berita
sebagai alat media massa untuk mempresentasikan sikap, kebijakan dan ideology mereka
lewat analisis wacana Theo Van Leeuwen. Model
analisis wacana ini untuk mendeteksi dan meneliti bqagaimana suatu kelompok
atau seseorang dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana.
Dalam
buku ini peneliti menggunakan metode analisis wacana Theo Van Leeuwen. Theo Van Leeuwen memperkenalkan sebuah model dalam
analisis wacana model, model analisis tersebut untuk mendeteksi atau mengetahui
bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarginalkan. Analisis Theo Van Leeuwen menampilkan bagaimana actor
dan pihak-pihak ditampilkan atau tidak ditampilkan dalam pemberitaan. Paradigma
yang dipakai dalam buku ini menggunakan paradigm kontruksivisme. Paradigm ini
jelas memiliki indikasi penting terutama dari aspek otologi, aspek epitimologi,
metodologi dan aksiology yang berbeda
bila melihat kasus terorisme. Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca yang
mempunya minat dalam bidang komunikasi, media massa maupun agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar