Jumat, 01 April 2016

Resensi Buku "Terorisme dalam Pemberitaan Media: Analisis Wacana Terorisme Indonesia" (2015)



GIFARI ASFAHANI
14321162
           
a. Judul buku               : Terorisme dalam Pemberitaan Media: Analisis Wacana Terorisme Indonesia
b. Pengarang               : Indiwan Seto Wahyu Wibowo
c. Jumlah Halaman      : 318 halaman
d. Tahun terbit            : 2015
e. Penerbit                   : Deepublish Jogjakarta Indonesia
f. Harga buku              : Rp.46.260.00

Isu terorisme saat ini menarik untuk dianalisis karena mengingat kondisi pers Indonesia di era reformasi berada dalam era kebebasan. Pemberitaan yang dianggap penting bagi media akan diliput dan disiarkan kepada publik. Namun tidak seperti memberitakan persolan politik, terorisme merupakan pembahasan yang sentimental terhadap suatu agama dan tak ada satupun media yang rela apalagi mau dianggap menyuarakan kepentingan atau mau menjadi corong kepentingan kelompok teroris.. Aksi terorisme baik dilakukan oleh kelompok besar maupun kecil ini mendapat perhatian bagi media massa sehingga aksi dan sepak terjangnya tidak pernah terlewatkan. Buku ini membahas bagaimana media massa menggambarkan peristiwa dan aksi yang terkait dengan sepak terjak terjang teroris yang bernafaskan aliran garis keras di Indonesia. Sebagian besar isi buku ini berasal dari hasil kajian disertasi penulis saat menempuh studi doktor komunikasi di Universitas Indonesia. Analisis teks berita-berita terorisme Indonesia ini, menggunakan Teknik Analisis Wacana dengan pendekatan kualitatif. Hal ini merupakan kajian tekstual dalam ranah Ilmu Komunikasi. Buku ini didedikasikan bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sedang menulis skripsi dan siapa saja yang tertarik meneliti isi teks media massa menggunakan Analisis Wacana.

Aksi terorisme ini menjadi salah satu menu penting dari media massa dan dijadikan headline pemberitaan mereka. Persoalannya adalah bagaimana media menggambarkan hal tersebut? Apakah para wartawan menyampaikan beritanya secara objektif? Atau di lain pihak apakah teroris sungguh memanfaatkan media untuk menyampaikan ‘pesannya’? Hal ini menjadi menarik karena ada perbedaan gaya komunikasi yang dilakukan oleh teroris di Indonesia dan teroris di luar Indonesia. Persoalannya adalah bagaimana realitas itu dikonstruksikan oleh media massa terkait dengan praktik konstruksi realitas, berita dipandang bukanlah sesuatu yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya media adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan berita adalah suatu konstruksi realitas.
 

Berita atau tulisan dalam pandangan konstruksi sosial bukan merupakan fakta yang riil. Berita termasuk berita seputar aksi Islam garis keras dan aksi terorisme adalah produk interaksi wartawan dengan fakta. Realitas sosial tidak begitu saja menjadi berita tetapi melalui proses. Di antaranya proses internalisasi di kalangan internal dan proses menggambarkan aksi terorisme yang ia amati, dalam hal ini saat melihat fakta langsung diserap dalam kesadarannya. Kemudian proses selanjutnya adalah proses eksternalisasi. Dalam proses ini wartawan menceburkan diri dalam memaknai realitas. Peta aktivitas terorisme dan peta posisi peran media bila dimatrikskan akan menuntun pada suatu garis relasi antara terorisme dan media massa- Atas dasar ini, pencerrrratan terhadap media dalam koverasi mereka terhadap terorisme meniadi lebih mudah dilalcukan dan memberi manfaat pada pihak-pihak, terrnasuk pemerintatr" yang berupaya menentang terorisme. Selain analisis dari akademisi dan peneliti, buku ini memuat perspektif wartawan melihat peran media dalam terorisme. Ia mengulas sejumlah problem wartawan saat meliput terorisme dan pelbagai faktor yang memengaruhi laporannya. Misalnya tekanan dari institusi media untuk membuat berita-berita sensasional, termasuk mengeksploitasi kekerasan, dan mengabaikan sensitivitas pembaca.


Dalam situasi ketika (pemberitaan) terorisme telah jadi komoditas, media tidak sekadar melaporkan apa yang terjadi. Tetapi ia melakukan dramatisasi agar model berita macam itu bisa menangguk perhatian audiens. Dramatisasi, pada gilirannya, mengabaikan fakta dan justru melakukan disinformasi. Praktik macam ini, di antaranya diulas dalam tulisan Dahr Jamail dan Danny Schecter, datang dari situasi ketika banyak wartawan memakan bulat-bulat informasi dan distorsi dari narasumber resmi seperti militer—seringnya oleh para wartawan yang melakukan praktik embedded journalism.

Buku ini mengusung soal representasi terorisme dalam pemberitaan media massa. Fokus persoalan adalah representasi terorisme di Indonesia yang diduga dilakukan oleh kelompok Islam garis keras, terkait dengan sejumlah aksi terorisme yang diduga melibatkan peranan Abu Bakar Ba’asyir. Yang menjadi objek penelitian adalah sejumlah pemberitaan seputar terorisme sejak Agustus 2010 di Harian Koran Tempo yang diawali dengan ditangkapnya Abu Bakar Ba’asyir. Koran Tempo edisi 10 Agustus 2010 mengangkat topik seputar penangkapan Amir  Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) Abu Bakar Ba’asyir. Analisis tekstual berita seputar aksi terorisme ini dilakukan pada Harian Koran Tempo sebagai Koran umum yang menempatkan persoalan terorisme sebagai persoalan menarik yang dijadikan kekuatan pemberitaan mereka. Pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya dikenal dengan Majalah Temponya. Alasan utama mengapa peneliti memilih Koran Tempo adalah karena Koran Tempo begitu juga Tempo dianggap sering bertindak ‘sinis’ terhadap Islam dan aksi kelompok-kelompok Garis Keras Islam. Kritik utama dari kelompok Islam tertentu adalah Tempo seringkali melakukan reportase dan investigasi yang menyudutkan Islam di tanah air. Disertasi ini mengangkat topik terorisme yang dikaitkan dengan aksi kelompok militan Islam seperti kelompok JAT yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba’asyir, sehingga tepatlah alasan memilih Koran Tempo sebagai media yang diteliti. Apakah Koran Tempo juga melakukan kebijakan yang sama dengan induk perusahaannya yang seringkali dituding anti Islam dalam pemberitaannya.
 Selain itu, terdapat isu pemberitaan aksi terorisme di era 2012-an ketika terorisme di Indonesia diwarnai sejumlah aksi terosisme yang tidak besar dan memiliki efek yang luar biasa. Setelah sejumlah gombong terorisme ditangkap paska 2008-2010 dan tewas atau dijatuhi hukuman mati, serta dieksekusi di Nusakambangan. Salah satu alasan mengapa buku ini juga mengangkat pemberitaan Koran Tempo periode 2010-an ketika aksi terorisme di Indonesia tertangkap, terbunuh, atau dieksekusi/hukuman mati. Di dalam buku ini juga terdapat beberapa nama dan peran gombong terorisme para teroris di Indonesia. Terdapat juga tanggal kejadian, aksi terorisme, pelaku terorisme dan korban. Media massa terkadang memposisikan diri kepada tiga hal, keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Bisa dikatakan, di tengah suasana aksi terorisme sesungguhnya terorisme berada di tengah realita sosial yang sarat dan kepentingan, konflik, dan fakta yang komplek dan ragam. Realitas adalah hasil ciptaan  manusia kreatif melalui kekuatan kontruksi social terhadap dunia sekelilingnya. Media digunakan oleh kekuatan-kekuatan capital untuk menjadikan media massa sebagai mesin uang dan pelipatgandaan modal lewat penyajian-penyajiannya. Posisi kedua adalah keberpihakan semu kepada masyarakat. Media massa seolah berpihak pada rakyat dalam bentuk simpati, empati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, tapi ujung-ujugnya “menjual berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis atau pihak pemilik modal. Keberpihakan kepada kepentingan umum adalah posisi media yang terakhir. Koran Tempo tidak melakukan konfirmasi seputar tuduhan atas Ba’asyir yang diduga terlibat sejumlah aksi terorisme di tanah air. Koran Tempo lebih banyak mengedepankan sumber resmi seperti Kepala Bareskrim Mabes Polri, Ito Sumardi. Upaya konfirmasi dan investigasi mengenai kebenaran dari klaim atau tuduhan polisi terhadap Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras tidak dilakukan. Wartawan/editor Koran Tempo Ahmad Fikri dan kawan-kawan, tidak memberi tempat yang seimbang untuk narasumber yang mendukung Ba’asyir. Kalaupun ada narasumber lain, hanya satu paragraf di paragraf dua, dan hanya terdiri dari tiga kalimat pendek terpisah.

Dalam teks ini ada upaya melakukan ekskomunikasi, artinya Koran Tempo tidak melakukan upaya menyeimbangkan informasi dengan melakukan wawancara yang seimbang, padahal kewajiban melakukan hal itu merupakan kewajiban hakiki pers. Artinya, dari sembilan elemen jurnalisme, Koran Tempo sudah melanggar elemen dasar bahwa perlu adanya verifikasi data dan narasumber agar berita yang disampaikan mengandung kebenaran.

Buku berasal dari disertasi yang menggunakan metode analisis wacana yang menyoroti soal bagaimana media mempresentasikan ideology di balik aksi terorisme dan fenomena islam garis keras di media. Penelitian ini bertujuan juga untuk mengkaji media massa mengusung aksi terorisme ang berlandaskan sentiment agama khususnya gerakann terorisme di tanah air dalam perspektif konstruktivisme. Studi akan mengkaji praktik social khususnya representasi peristiwa yang diyakini oleh awak media sebagai suatu kebenaran. Di sisi lain proses ekonomi social dan politik pemberitaan terorisme menjadi al yang penting dalam studi ini. Buku ini merupakan versi populer dari hasil disertasi yang melihat bagaimana sebuah peristiwa dan isu terorisme diangkat oleh media. Layak dimiliki oleh praktisi media, dan bisa jadi buku pegangan dan contoh yang baik bagi yang sedang membuat skripsi,tesis bahkan disertasi menggunakan teknik analisis teks wacana.

Persoalan terorisme dan media massa, merupakan hal yang masih langka diteliti dalam sebuah disertasi di Indonesia apalagi dikaitkan dengan representasi. Ini yang membedakan buku ini dengan sejumlah penelitian sebelumnya, baik di bidang metodologi, paradigm, dan teori-teori yang digunakan. Dalam buku ini, persoalan terorisme di Indonesia ditinjau lewat analisi wacana yang melihat teks berita sebagai alat media massa untuk mempresentasikan sikap, kebijakan dan ideology mereka lewat analisis wacana Theo Van Leeuwen. Model analisis wacana ini untuk mendeteksi dan meneliti bqagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarginalkan posisinya dalam suatu wacana.

Dalam buku ini peneliti menggunakan metode analisis wacana Theo Van Leeuwen. Theo Van Leeuwen memperkenalkan sebuah model dalam analisis wacana model, model analisis tersebut untuk mendeteksi atau mengetahui bagaimana sebuah kelompok hadir sebagai kelompok yang dimarginalkan. Analisis Theo Van Leeuwen menampilkan bagaimana actor dan pihak-pihak ditampilkan atau tidak ditampilkan dalam pemberitaan. Paradigma yang dipakai dalam buku ini menggunakan paradigm kontruksivisme. Paradigm ini jelas memiliki indikasi penting terutama dari aspek otologi, aspek epitimologi,  metodologi dan aksiology yang berbeda bila melihat kasus terorisme. Buku ini sangat bermanfaat bagi pembaca yang mempunya minat dalam bidang komunikasi, media massa maupun agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar