Nama : Irfan Suryahadi
Nim : 14321056
· Judul Buku
: Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia
· Penulis
: Ariel Heryanto
·
Penerjemah : Eric Sasono
·
Penerbit :
Kepustakaan Populer Gramedia
·
Cetakan : 2015,
xvi + 350 halaman
. Tahun terbit : 29 juni 2015
. Harga : Rp. 51.000
Buku ini berisi tentang bagaimana kelas menengah, terutama di lingkungan
perkotaan, merumuskan dan mencari identitasnya di dekade yang menawarkan
berbagai kebebasan, sekaligus juga ketakutan. Proses pencarian identitas
tersebut bisa dilihat dari representasi dan peran serta kelompok tersebut dalam
budaya layar, baik itu televisi, film, dan tak terkecuali media sosial. Dari
sana kita juga bisa melihat bagaimana peran teknologi media dalam kontestasi
perebutan tafsir mengenai Islam, sentiment anti-Tionghoa, demam K-Pop, termasuk
juga selebritisasi politik di Indonesia.
Sebelum sampai ke pembahasan mengenai kontestasi dan perumusan identitas kelas menengah tersebut, Ariel mengawali bukunya dengan penjelasan kondisi Indonesia di era reformasi yang menurutnya mirip dengan apa yang terjadi pada dekade awal pasca kemerdekaan 1945. Dalam dua periode tersebut, pasca jatuhnya rezim otoriter yang berkuasa sekian lama, Indonesia dengan susah payah mencoba bangkit menjadi negara-bangsa yang terhormat, modern, dan berdaulat.
Sebelum sampai ke pembahasan mengenai kontestasi dan perumusan identitas kelas menengah tersebut, Ariel mengawali bukunya dengan penjelasan kondisi Indonesia di era reformasi yang menurutnya mirip dengan apa yang terjadi pada dekade awal pasca kemerdekaan 1945. Dalam dua periode tersebut, pasca jatuhnya rezim otoriter yang berkuasa sekian lama, Indonesia dengan susah payah mencoba bangkit menjadi negara-bangsa yang terhormat, modern, dan berdaulat.
Indonesia di masa-masa yang demikian adalah negeri yang berjalan tertatih,
penuh harapan, namun terluka. Bunga-bunga harapan bermekaran, tapi banyak yang
layu sebelum waktunya. Salah satu penyebabnya, pengalaman panjang represi
politik telah membuat titik-titik yang sebelumnya disumbat menjadi meledak.
Perkara identitas yang sebelumnya dibungkam, tiba-tiba menimbulkan gejolak luar
biasa di era transisi demokrasi. Tak ada otoritas yang berkuasa penuh.
Pusat-pusat kekuasaan luruh dan menyebar ke titik-titik terjauhnya.
Berbagai kelompok mencoba melakukan eksperimen demokrasi sebagai konsekuensi
kebebasan yang baru saja didapat. Eksperimen yang segera saja berhadapan dengan
situasi chaos. Kerusuhan antaretnis yang terjadi di beberapa tempat seperti di
Ambon, kebebasan pers yang membawa bonanza industri media namun pada akhirnya
membawa media berhadap-hadapan dengan warga (cermati banyaknya kantor media
yang digeruduk warga yang tidak puas karena pemberitaan), sampai benturan
tafsir agama dan munculnya elemen kekuatan Islam politik yang di era sebelumnya
direpresi. Ketidastabilan politik juga terjadi yang ditandai benturan
elemen-elemen reformasi berhadapan dengan sisa-sisa Orde Baru.
Dalam konteks industri media, dekade pasca-Soeharto menawarkan kebebasan
yang luar biasa. Arus modal mengalir kencang tanpa adanya
pengekangan-pengekangan politik. Kebebasan pers pada tahap tertentu tidak hanya
berarti “kebebasan dari” melainkan sudah sampai menjadi “kebebasan untuk”.
Gerak kapital industri media berjalan dalam dua tahap, melalui proses
spasialiasi horizontal (pemusatan kepemilikan media di beberapa kelompok),
tetapi juga spasialisasi vertikal (penggabungan beberapa jenis industri
termasuk media dalam satu kontrol kepemilikan).
Potret dalam Budaya Layar
Pada kondisi semacam itu, Ariel memotret pergulatan identitas kelas menengah
Indonesia melalui budaya populer. Budaya populer yang dimakud dalam buku ini
bermakna dua hal: berbagai gambar, suara, dan pesan yang diproduksi secara
massal oleh industri hiburan termasuk proses pemaknaan yang dilakukan oleh
konsumen, dan kedua, berbagai bentuk praktik komunikasi yang bukan hasil industrialisasi
karena relatif lebih independen, tidak bertujuan komersil, dan disebarkan
melalui forum-forum khusus.
Setidaknya ada beberapa isu yang dipotret dalam buku ini: proses islamisasi
(yang menandai gelombang besar pengerasan identitas masyarakat Indonesia
pasca-Orde Baru), wacana tragedi 1965 yang didiskusikan dengan besar-besaran,
sentimen anti-Tionghoa yang semakin menguat dan terus direproduksi, gejala
K-Pop atau asianisasi kelas menengah perkotaan, sampai personalisasi politik
yang membuat dunia politik serupa panggung hiburan.
Dalam proses islamisasi, kontestasi perebutan tafsir atas Islam bisa dilihat
dari produk budaya populer seperti film. Menggunakan film Ayat-Ayat Cinta,
Perempuan Berkalung Sorban, dan Ketika Cinta Bertasbih, Kiamat Sudah
Dekat, dan Catatan Si Boy, Ariel mencoba lepas dari perdebatan
apakah semakin banyaknya film bertema Islam menandakan proses meningkatnya
ketakwaan beragama masyarakat, atau pada sisi lain, sedang berjalannya proses
komodifikasi agama.
Proses islamisasi tersebut mesti dipahami dalam kerangka perkembangan
kapitalisme industrial di Indonesia. Tak terkecuali juga munculnya orang kaya
baru yang mencoba mendifinisikan pemaknaan “menjadi muslim ideal” yang berbeda
dari apa yang kerap dipropagandakan lembaga –lembaga otoritas keagamaan. Pada
titik ini, Ayat-Ayat Cinta memperlihatkan benturan paling ideal antara
kelompok Islam, dari yang liberal sampai konservatif – yang pada gilirannya ada
yang menyebut sebagai radikal – , juga industri yang berorientasi keuntungan
finansial.
Sementara itu, dalam sentimen anti-Tionghoa yang semakin ke sini semakin
menguat, kebencian ini berakar panjang dalam penyingkiran eksistensi etnis ini
“baik di layar maupun belakang layar”. Meskipun etnis Tionghoa bukan
satu-satunya kelompok minoritas yang menjadi korban represi negara dalam waktu
yang panjang, Ariel menilai bahwa bahasan etnis Tionghoa menarik dibentangkan
karena diskriminasi terhadap mereka juga khusus.
Salah satunya karena banyaknya orang Tionghoa menjadi tokoh penting dalam
seni pertunjukan baik di panggung maupun film. Jika melihat pada politik
penyingkiran yang dilakukan rezim Orde Baru, hal ini memang terasa ironis.
Peran penting mereka hendak dihapuskan secara total dari sejarah resmi dan
ingatan publik. Ariel, dengan menggunakan kajian yang dilakukan Krishna Sen,
menjelaskan bagaimana isi film-film yang dibuat Teguh Karya (sutradara beretnis
Tionghoa). Teguh adalah orang yang memiliki peran besar dalam industri
perfilman di Indonesia, meski, perannya itu pelan-pelan dipinggirkan.
Identitas
Membaca buku ini memberikan gambaran yang cukup utuh bagi kita untuk melihat
identitas kelas menengah di Indonesia pasca-Orde Baru. Kelas yang berisik di
media sosial, rentan secara posisi sosial, namun cukup berpengaruh dalam
menentukan wajah Indonesia hari-hari ini. Identitas kelas menengah memang bukan
sesuatu yang tunggal. Ia dibentuk melalui dialektika yang terus-menerus
bertumbukan. Perkembangan teknologi media, pada titik ini, menjadi faktor
signifikan dalam tumbukan-tumbukan tersebut.
Tumbukan-tumbukan yang terus terjadi tersebut juga menjelaskan beberapa
paradoks identitas yang ada, misalnya, gelombang sentimen anti-Tionghoa –
utamanya dalam hal politik – yang mengeras namun terjadi penerimaan
terhadap K-Pop atau asianisasi budaya populer. Dalam konteks islamisasi juga
misalnya, ia melahirkan keberadaan anak-anak muda yang terpukau dengan
kelompok-kelompok radikal semacam ISIS. Persis karena ISIS berhasil memberikan
identitas yang mereka cari, seperti K-Pop. Buku ini adalah potret Indonesia
kekinian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar