Sabtu, 26 Maret 2016

review puisi

Abdurahman Saleh 

14321128

                               Mata Air


Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.

Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.

Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,

langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.



 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar