Senin, 14 Maret 2016

KUNCI



Nama: Risky Wahyudi
NIM: 13321092
 

Kunci

Hari ini merupakan hari ujian terakhir. Materi telah kulahap semuanya. Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris telah kulalui. Nah! Sekarang adalah ujian terakhirk. Aku mengambil kunci motor dan lansung tancap gas menuju sekolah.
 Ilmu Pengetahuan Sosial. Kalo boleh sombong cukup menikmati berada di kelas IPS ini. Sempat teringat dua tahun belakangan disaat mengisi angket penjurusan. Terdiri dari dari dua opsi, IPA atau IPS. Entah mengapa tertarik saja dengan jurusan yang satu ini. Banyak orang bilang jurusan IPA lebih menjamin di masa depan. Gaji mereka gede-gede. Bahkan ada juga yang bilang kalo misalkan masuk IPA, tapi nanti di kelas sebelas tidak sanggup, bisa masuk IPS.
Namun hal itu tidak berlaku bagi jurusan yang satu ini. Banyak yang bilang kalo IPS itu isinya anak-anak nakal. Orang-orang yang tak lulus IPA tentu akan masuk IPS. Seolah derajatnya anak IPA lebih tinggi dari pada IPS.
“Darimana stereotype seperti ini muncul?” ujar dalam hati di kala itu.
Coba curhat kepada bapak ku. “Kamu kalo mau pilih jurusan yang enak sama mu aja! Jangan cari yang keren-keren! Tapi cari yang nyaman sama mu! Ingat, Uang bukan lah patokan ukuran kebahagian.”
Entah mengapa spontan saja memilih IPS. Iya! Ini lah Passion ku. Aku nyaman di sini. Suka dengan kehidupan sosial, terdarik akan sejarah, nyaman dan ketagihan untuk menghitung uang dengan nominal besar. Hal yang menarik dalam pelajaran akuntansi ialah ngka nol. Enak saja rasanya apabila penjumlahan dan pengurangan yang menghasilkan angka belakangnya nol. Seperti lima ditambah lima, tujuh ditambah tiga, dua belas ditambah delapan.
Dua tahun kulalui, ya nyaman sekali rasanya. Tapi rasanya nggak salah juga mereka bilang IPS merupakan sebuah pelarian. Teman-teman  tak ada yang sepintar aku buktinya. Bahkan setiap ada tugas nanya ke aku. Mau kelompokan ke aku. Sedikit-sedikit ke aku. Kalo nggak ditolongin nggak enak juga. Kalo ujian pun mau nyontek ke siapa juga. Malahan mereka yang mencontek ke saya.
“Ah... ya udah deh...! setidaknya aku mengerti dengan materi pelajaran. Toh nilai juga aman-aman saja. Apasalahnya juga menolong mereka.”
Telah tiba di parkiran motor sekolah. Ku rapihkan posisi motor dan terus berjalan menuju ruangan ujian. Kunci motor ku yang  dipegang segera aku letakkan ke saku celana bagian belakang. Sudah tiga berlalu kurasa diriku mampu menjawab pertanyaan yang terdapat dilembaran soal. Semuanya murni hasil jerih payahku, tanpa mencontek sama sekali. Kulihat anak-anak yang lain pada cemas.
 Aku hanya sedikit senyum kecut bangga kan diriku yang telah mencoba memahami materi pelajaran dari kelas sebelas hingga sekarang ini. Sehingga pelajaran selanjutnya bisa aku pahami dengan mudah karena telah memiliki pondasi yang kokoh.
Bel tanda ujian berbunyi dan ujian pun dimulai. Awal mulanya rungan terasa sunyi. Bahkan detak jarum jam pu dapat terdengar. Tidak ada suara sama sekali.
Menjelang akhir ujian terdengar kasak kusuk dari arah jarum jam angka empat dari tempat duduk ku yang ada di tengah. Pengawas mendehem seolah memperingati akan kebisingan itu. Terus masih terdengar lagi kasak kusuk dari arah jarum jam sepuluh. Mata pengawas ujian melotot menuju ke arah tersebut. Ia tampak tidak nyaman mengawasi ruangan itu. Sepertinya pengawas perempuan itu merupakan seorang yang idealis dan memiliki harga diri yang tinggi.
Aku merasa diriku sangat beruntung sekali bisa menjawab pertanyaan di lembar soal. Terasa gampang bagiku untuk mengerjakannya. Sekilas ku tatap pengawas tampak dirinya kusut. Ia tampaknya ingin sekali mencari mangsa.
Aku tegakkan sedikit posisi dudukku. Namun terdengar bunyi gemercing seperti dentuman kunci di lantai keramik. Aku tersadarkan bahwa itu adalah kunci motor ku yang tadi aku letakkan di saku celana bagian belakang. Pengawas menatap ku penuh dengan curiga. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Berusaha mencoba untuk fokus dan mengabaikan jatuhnya kunci motor hingga rasa curiga sang pengawas itu hilang pada ku.
Rasanya gelisah saja jika kunci motor itu tidak diambil. Posisinya ada di belakang bangku persis di depan seorang siswa yang duduk di belakangku. Coba untuk fokus, namun tetap saja memikirkan kunci itu. Ku coba lagi, namun tetap saja kepikiran. Jujur aku agak cemas saja jika petugas menghampiriku dan merobek lembar jawaban ku karena mengira diriku mencontek.
Namun demi menghilangkan rasa gelisah ini aku mencoba memberanikan diri untuk meminta tolong kepada yang ada di belakang ku untuk mengambilkan kunci motor ku. Segenap rasa berani aku kumpulkan. Lalu ku torehkan kepala ke belakang.
“Bro! Tolong kuncinya dong!”
Segera aku memutar badan dan terdengar gesekan keras kursi dengan lantai keramik menimbulkan rasa ngilu. Aku segera menedorkan tangan ke belakang dengan pandangan ke arah pengawas. Pengawas itu curiga dengan ku dan menatap padanya. Terlihat dirinya berdiri dan tempat duduknya dan berjalan ke arah ku.
“Bro... kuncinya, Bro!” Bisik ku senakin kencang namun pandangan ku tetap ke arah pengawas yang berjalan ke arah ku.
Tanganku yang ku sodorkan ke belakang tiba-tiba saja diletakkan secarik kertas oleh siswa yang ada di belakang ku itu.
“Apa ini?” Pikir ku dalam hati. “Yang aku minta kunci. Bukan sebuah kertas.” Pikirku.
Pengawas semakin mendekat ke arah aku. Spontan diriku kaget dan aku letakkan tangan ku di atas meja. Kulihat sekilas kertas dari teman ku itu. Terdapat tulisan nomor dan huruf alphabet dari A, B, C, D, hingga, E. Aku terhenyak. Ini adalah kunci jawaban. Pengawas kini berada di depan posisi tempat dudukku.
“Boleh saya lihat apa yang ada di tangan anda?” tanyanya pada diriku yang panik.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar