Nama: Risky Wahyudi
NIM: 13321092
Kunci
Hari
ini merupakan hari ujian terakhir. Materi telah kulahap semuanya. Matematika,
Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris telah kulalui. Nah! Sekarang adalah ujian
terakhirk. Aku mengambil kunci motor dan lansung tancap gas menuju sekolah.
Ilmu Pengetahuan Sosial. Kalo boleh sombong cukup
menikmati berada di kelas IPS ini. Sempat teringat dua tahun belakangan disaat
mengisi angket penjurusan. Terdiri dari dari dua opsi, IPA atau IPS. Entah
mengapa tertarik saja dengan jurusan yang satu ini. Banyak orang bilang jurusan
IPA lebih menjamin di masa depan. Gaji mereka gede-gede. Bahkan ada juga yang
bilang kalo misalkan masuk IPA, tapi nanti di kelas sebelas tidak sanggup, bisa
masuk IPS.
Namun
hal itu tidak berlaku bagi jurusan yang satu ini. Banyak yang bilang kalo IPS
itu isinya anak-anak nakal. Orang-orang yang tak lulus IPA tentu akan masuk
IPS. Seolah derajatnya anak IPA lebih tinggi dari pada IPS.
“Darimana
stereotype seperti ini muncul?” ujar
dalam hati di kala itu.
Coba
curhat kepada bapak ku. “Kamu kalo mau pilih jurusan yang enak sama mu aja!
Jangan cari yang keren-keren! Tapi cari yang nyaman sama mu! Ingat, Uang bukan
lah patokan ukuran kebahagian.”
Entah
mengapa spontan saja memilih IPS. Iya! Ini lah Passion ku. Aku nyaman di sini. Suka
dengan kehidupan sosial, terdarik akan sejarah, nyaman dan ketagihan untuk
menghitung uang dengan nominal besar. Hal yang menarik dalam pelajaran
akuntansi ialah ngka nol. Enak saja rasanya apabila penjumlahan dan pengurangan
yang menghasilkan angka belakangnya nol. Seperti lima ditambah lima, tujuh
ditambah tiga, dua belas ditambah delapan.
Dua
tahun kulalui, ya nyaman sekali rasanya. Tapi rasanya nggak salah juga mereka
bilang IPS merupakan sebuah pelarian. Teman-teman tak ada yang sepintar aku buktinya. Bahkan
setiap ada tugas nanya ke aku. Mau kelompokan ke aku. Sedikit-sedikit ke aku.
Kalo nggak ditolongin nggak enak juga. Kalo ujian pun mau nyontek ke siapa
juga. Malahan mereka yang mencontek ke saya.
“Ah...
ya udah deh...! setidaknya aku mengerti dengan materi pelajaran. Toh nilai juga
aman-aman saja. Apasalahnya juga menolong mereka.”
Telah
tiba di parkiran motor sekolah. Ku rapihkan posisi motor dan terus berjalan
menuju ruangan ujian. Kunci motor ku yang dipegang segera aku letakkan ke saku celana
bagian belakang. Sudah tiga berlalu kurasa diriku mampu menjawab pertanyaan
yang terdapat dilembaran soal. Semuanya murni hasil jerih payahku, tanpa
mencontek sama sekali. Kulihat anak-anak yang lain pada cemas.
Aku hanya sedikit senyum kecut bangga kan
diriku yang telah mencoba memahami materi pelajaran dari kelas sebelas hingga
sekarang ini. Sehingga pelajaran selanjutnya bisa aku pahami dengan mudah
karena telah memiliki pondasi yang kokoh.
Bel
tanda ujian berbunyi dan ujian pun dimulai. Awal mulanya rungan terasa sunyi.
Bahkan detak jarum jam pu dapat terdengar. Tidak ada suara sama sekali.
Menjelang
akhir ujian terdengar kasak kusuk dari arah jarum jam angka empat dari tempat
duduk ku yang ada di tengah. Pengawas mendehem seolah memperingati akan
kebisingan itu. Terus masih terdengar lagi kasak kusuk dari arah jarum jam
sepuluh. Mata pengawas ujian melotot menuju ke arah tersebut. Ia tampak tidak
nyaman mengawasi ruangan itu. Sepertinya pengawas perempuan itu merupakan
seorang yang idealis dan memiliki harga diri yang tinggi.
Aku
merasa diriku sangat beruntung sekali bisa menjawab pertanyaan di lembar soal.
Terasa gampang bagiku untuk mengerjakannya. Sekilas ku tatap pengawas tampak
dirinya kusut. Ia tampaknya ingin sekali mencari mangsa.
Aku
tegakkan sedikit posisi dudukku. Namun terdengar bunyi gemercing seperti
dentuman kunci di lantai keramik. Aku tersadarkan bahwa itu adalah kunci motor
ku yang tadi aku letakkan di saku celana bagian belakang. Pengawas menatap ku
penuh dengan curiga. Aku merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. Berusaha
mencoba untuk fokus dan mengabaikan jatuhnya kunci motor hingga rasa curiga
sang pengawas itu hilang pada ku.
Rasanya
gelisah saja jika kunci motor itu tidak diambil. Posisinya ada di belakang
bangku persis di depan seorang siswa yang duduk di belakangku. Coba untuk
fokus, namun tetap saja memikirkan kunci itu. Ku coba lagi, namun tetap saja
kepikiran. Jujur aku agak cemas saja jika petugas menghampiriku dan merobek
lembar jawaban ku karena mengira diriku mencontek.
Namun
demi menghilangkan rasa gelisah ini aku mencoba memberanikan diri untuk meminta
tolong kepada yang ada di belakang ku untuk mengambilkan kunci motor ku.
Segenap rasa berani aku kumpulkan. Lalu ku torehkan kepala ke belakang.
“Bro!
Tolong kuncinya dong!”
Segera
aku memutar badan dan terdengar gesekan keras kursi dengan lantai keramik
menimbulkan rasa ngilu. Aku segera menedorkan tangan ke belakang dengan
pandangan ke arah pengawas. Pengawas itu curiga dengan ku dan menatap padanya.
Terlihat dirinya berdiri dan tempat duduknya dan berjalan ke arah ku.
“Bro...
kuncinya, Bro!” Bisik ku senakin kencang namun pandangan ku tetap ke arah
pengawas yang berjalan ke arah ku.
Tanganku
yang ku sodorkan ke belakang tiba-tiba saja diletakkan secarik kertas oleh siswa
yang ada di belakang ku itu.
“Apa
ini?” Pikir ku dalam hati. “Yang aku minta kunci. Bukan sebuah kertas.”
Pikirku.
Pengawas
semakin mendekat ke arah aku. Spontan diriku kaget dan aku letakkan tangan ku
di atas meja. Kulihat sekilas kertas dari teman ku itu. Terdapat tulisan nomor
dan huruf alphabet dari A, B, C, D, hingga, E. Aku terhenyak. Ini adalah kunci
jawaban. Pengawas kini berada di depan posisi tempat dudukku.
“Boleh
saya lihat apa yang ada di tangan anda?” tanyanya pada diriku yang panik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar